TUGAS MANDIRI
Kebudayaan
Suku Nias
Mata Kuliah: Pengantar
Antropologi

Nama Mahasiswa : Aslita Hafni Veronika Sihombing
NIM : 131010040
Kode Kelas : 131-CM008-M3
Dosen : Mellisa Anggraini, SH,
MH.
UNIVERSITAS PUTERA
BATAM
2013
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai penulis dalam pembuatan
makalah Antropologi, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas mandiri yang diberikan
oleh Dosen Mellisa Angraini, SH,MH. Dengan judul KEBUDAYAAN ADAT SUKU NIAS,
kiranya makalah yang dibuat oleh penulis dapat menuntaskan nilai tugas mandiri.
Dan makalah ini dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana adat-adat yang ada
di Suku Toraja.
Terima
kasih kepada orang tua yang telah memberikan motivasi dan dorongan yang berupa
materi dalam penuntasan makalah antropologi ini. Dengan segala usaha maksimal yang penulis lakukan dalam pembuatan
makalah, penulis tentu saja sadar bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai
pihak.
Batam, 08
Desember 2013
Aslita Hafni Veronika
Sihombing
Npm: 131010040
DAFTAR ISI
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.1 Marga
1.2 Rumah Adat Nias
A. Kesimpulan
B.Saran..……………………………………………………………………………………20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu Negara yang
terdiri atas beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil yang berada
didalamnya. Indonesia termasuk dalam sebuah Negara maritim yang dimana
lautannya lebih luas dibandingkan dengan daratan. Perbandingan antara luas
lautan dan luas daratan adalah 4 : 1.
Secara geografis, Indonesia merupakan Negara yang memiliki letak yang
strategis. Karena letaknya yang strategis Negara Indonesia dijadikan sebagai
Bandar Internasional bagi para kapal-kapal yang akan melakukan perjalanan mengelilingi
dunia. Indonesia diapit oleh dua samudera dan dua benua. Dua benua yang
mengapit indonesia adalah Benua Asia dan Benua Australia. Dan samuderanya
adalah Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Posisi letak geografis indonesia
begitu menguntungkan indonesia baik dalam kesejahteraan masyarakat, kebudayaan,
dan ekonomi .
Pulau-pulau utama yang terdapat di
Indonesia yaitu Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan,
dan Pulau Irian. Pulau-pulau tersebut menyimpan banyak sekali keanekaragaman
kebudayaan dan pariwisata yang begitu menarik pesona. Sehingga menarik para
wisatawan untuk datang menikmati kebudayaan dan mengunjungi tempat-tempat
pariwisata tersebut. Kebudayaan yang ada di Indonesia bukan hanya kebudayaan
tradisional saja tetapi juga ada terdapat kebudayaan moderen akibat dari
pengaruh globalisasi. Kebudayaan tradisional yang ada di Indonesia sudah
dikenal didunia mancanegara. Tradisi kebudayaan adat istiadat yang dimiliki
oleh setiap daerah merupakan ciri khas dari daerah tersebut agar masyarkat
mengetahui kebudayaan daerah itu.
Dalam Provinsi Sumatera Utara
terdapat Kepulauan Nias, yang menyimpan begitu banyak kebudayaan. Masyarakat
Nias memberi nama pada daerah tempat tinggal mereka dengan sebutan "Ono
Niha" (Ono = anak/keturunan, Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai
"Tano Niha" (Tano = tanah). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup
dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Masyarakat Nias kuno
adalah masyarakat yang hidup dalam budaya megalitik (batu besar) yang
dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang
masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan),
Onolimbu (Nias Barat)dan di tempat-tempat lain sampai pada saat zaman sekarang
ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
dibahas oleh penulis diatas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah diantaranya
adalah :
1. Dimanakah letak Kepulauan Nias
berada dan gambaran Pulau Nias ?
2. Bagaimana perkembangan dan peradaban
Suku Nias ?
3. Apa saja kebudayaan yang terdapat di
Nias ?
4. Jelaskan asal mula kebudayaan Suku
Nias !
1.3 Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dimana Kepulauan
Nias berada
2. Mampu mendeksripsikan perkembangan
dan peradaban Suku Nias
3. Mengetahui bahwa di Pulau Nias
terdapat banyak kebudayaan khas daerah
4. Untuk mengetahui asal mula munculnya
kebudayaan Suku Nias
BAB II
SUKU NIAS
Nias merupakan
suatu pulau yang terdapat dalam Provinsi Sumatera Utara. Pulau Nias memiliki
sebuah Kabupaten Nias Selatan dengan ibu kotanya Teluk Dalam. Pulau yang
memiliki luas wilayah 5.625 kilometer persegi dengan sistem kepemimpinan
kampung yang memimpin Suku Nias adalah seorang kepala desa atau kepala suku
yang biasa disebut dengan “Si’ulu” yang artinya adalah seorang kaum bangsawan.
Kepemimpinan seperti ini masih ada hingga sampai sekarang dan bisa kita temukan
dalam Kabupaten Nias Selatan. Hukum adat yang terkenal di Nias secara umum
disebut dengan “FONDRAKO” yang berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat
Pulau Nias dari mereka lahir hingga akhir kematian. Suku Nias juga mengenal
adanya sistem kasta dalam kehidupan mereka, yang dimana tingkatan kasta yang
mereka jalanin ada 12 tingkatan kasta. Kasta yang paling tertinggi adalah kasta
balugu. Masyarakat Nias yang ingin mencapai tingkat kasta yang paling tinggi,
terlebih dahulu mereka harus mampu mengadakan pesta besar dengan mengundang
ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak yang mereka miliki setiap
harinya.
Nias memiliki
kehidupan sosial yang tinggi, mereka sangat dekat antara warga yang satu dengan
warga masyarakat yang lainnya. Pemberian salam kepada sesama mereka merupakan hal yang sangat
penting karena nilai tatakramanya sangat tinggi. Bila seseorang tidak saling
menyapa atau memberi salam kepada yang lain, maka diantara kedua belah pihak
sudah terjadi disintegrasi atau pertengkaran sosial yang mungkin disebabkan
oleh sifat, gaya, cara jalan, tutur bahasa, cara berpakaian atau bahkan cara
penataan rambutnya yang kurang diterima oleh masyarakat setempat. Jika semua
hal yang dilakukan seseorang ataupun kelompok diterima dimasyarakat maka relasi
mereka menjadi lebih akrab sehingga setiap bertemu selalu menyapa dengan ucapan
“Ya’ahowu” yang dilanjutkan dengan kata
“Yae nafoda” atau bologö dödöu, lö afoda” (ini sirih kita atau maaf kita tidak
punya sirih). Dalam situasi tersebut kedua belah pihak saling memakan sirih.
Setelah itu baru diakhiri dengan salam kembali dan kata “ya’ami ba lala”
(selamat jalan) sebagai kata perpisahan bagi mereka.
Kepulauan
Nias menyimpan begitu banyak tempat-tempat pariwisata dan kebudayaan adat.
Tempat pariwisata yang ada di Nias tidak kalah menarik dengan pantai yang ada
di Bali. Keindahan panorama pantai dan kesejukan anginnya hampir sama, bahkan
menyerupai dengan Pulau Bali. Seperti pantai-pantai yang ada di Nias Utara,
Nias Selatan, dan Gunung Sitoli. Kebudayaan adat yang ada di Pulau Nias juga
beragam mulai dari marga yang terdapat di Nias, makanan dan minuman khas daerah
Nias, tari-tarian dan adat lainnya yang membuat Suku Nias dikenal identik
dimata masyarakat. Yang tidak kalah menariknya adat perkawinan dalam masyarakat
yang begitu rumit menjadikan cirri khas utama daerah tersebut. Masyarakat Nias mempunyai kebiasaan mendasar
yang sering dilakukan oleh Suku Nias. Kebiasaan mendasar mereka sama halnya
dengan tatakrama atau sopan santun yang dianut oleh masyarakat tersebut.
1.1 Marga
Masyarakat suku Nias menganut marga
yang bersifat patrilineal atau marga berdasarkan garis keturunan dari ayah.
Marga yang terdapat dalam suku Nias yaitu :
® Amazihono,
Amuata
®
Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi,
Bawaniwa'o, Bawo, Bali, Bohalima, Bu'ulolo, Buaya, Bunawolo, Bulu'aro, Bago,
Bawa'ulu, Bidaya, Bazikho, Baewa.
®
Dakhi, Daeli, Daya, Dohare,
Dohona, Duha, Duho, Dohude, Dawolo.
®
Fau, Farasi, Finowa'a, Fakho,
Fa'ana, Famaugu.
®
Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa,
Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari.
®
Halawa, Hala Wawa, Harefa, Haria,
Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura, Hoya, Harimao, Halu.
®
Lafau, Lahagu, Lahomi, La'ia,
Luaha, Laoli, Laowo, Larosa, Lase, Lawolo, Lo'i, Lombu, Lamolo, Lature,
Luahambowo, Lazira, Lawelu, Laweni, Lasara, Laeru, Londu go'o, Larosa
®
Maduwu, Manao, Maru'ao, Maruhawa,
Marulafau, Mendrofa, Maruabaya, Moho, Marunduri, Molo.
®
Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe,
Nakhe, Nadoya.
®
Ote.
®
Sadawa, Sa'oiago, Sarumaha, Saro,
Sihono, Sihura, Sisokhi, Saota.
®
Tafona'o, Telaumbanua, Talunohi,
Tajira.
®
Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalo,
Warasi, Warae, Wohe.
®
Zagoto, Zai, Zalukhu, Zamasi,
Zamago, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendrato, Zidomi, Ziliwu, Ziraluo,
Zoromi, Zalogo, Zamago zamau.
1.2 Makanan Khas Suku Nias
Makanan
khas yang terdapat di daerah Nias yaitu :
·
Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ;
Ubi tumbuk)
· Harinake (daging Babi cincang dengan
cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
· Godo-godo (ubi atau singkong yang
diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan
kelapa yang sudah di parut)
· Kofo-kofo (daging yang berasal dari
ikan yang kemudian dibentuk bulat dan dijemur atau dikeringkan atau bisa juga
diasap)
· Ni’owuru (daging babi yang sengaja
diasinkan agar bisa bertahan lama)
· Raki gae (pisang goreng)
· Tamboyo (ketupat)
· Loma (beras ketan yang dimasak
dengan menggunakan buku bambu)
1.3 Minuman Khas Suku Nias
Selain makanan khas suku Nias juga
memiliki minuman khas, yaitu :
§ Tuo Nifaro adalah minuman yang
berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias pohon nira yang artinya
adalah tola nakhe) yang telah diolah dengan cara penyulingan)
§ Tuo mbanua (minuman tuak mentah yang
berasal dari air sadapan pohon kelapa)
1.4 Peralatan yang di Gunakan Masyarakat Nias
Masyarakat
Nias sendiri memiliki nama tersendiri atas semua barang-barang yang mereka
miliki, nama peralatannya yaitu :
J Bowoa tanö - periuk dari tanah
liat, alat masak tradisional
J Figa lae - daun pisang yang dipakai
untuk menjadi alas makanan
J Halu (alat menumbuk padi) – Alu
J Lösu – lesung
J Gala - dari kayu seperti talam
J Sole mbanio - tempat minum dari
tempurung
J Katidi - anyaman dari bambu
KEBUDAYAAN ADAT
1.1 Pakaian Adat Nias
Pakaian adat di Nias merupakan
simbol atau penanda bagi daerah Nias. Pakai adat yang digunakan pada laki-laki
bernama baru oholu dan pakaian adat pada perempuan dinamakan oroba si’oli.
Pakaian adat tersebut biasanya berwarna emas atau kuning yang dipadukan dengan
warna lain seperti hitam, merah, dan putih. Adapun cerita dari setiap warna
baju itu sendiri antara lain:
- Warna kuning yang dipadukan dengan corak persegi empat (Ni’obakola) dan pola bunga kapas (Ni’obowo gafasi) digunakan para bangsawan untuk menggambarkan kejayaan kekuasaan, kekayaan, kemakmuran dan kebesaran.
- Warna merah yang dipadukan dengan corak segi-tiga (Ni’ohulayo atau ni’ogona) dipakai oleh prajurit untuk menggambarkan darah, keberanian dan kapabilitas para prajurit.
- Warna hitam yang sering dikenakan oleh rakyat tani menggambarkan situasi kesedihan, ketabahan dan kewaspadaan.
- Warna putih yang sering dikenakan oleh para pemuka agama kuno (Ere) menggambarkan kesucian, kemurnian dan kedamaian.
1.2 Rumah Adat Nias
Bagi setiap suku rumah adat
merupakan salah satu lambang dari kebudayaan yang mereka miliki. Begitu juga
dengan suku Nias, bagi suku Nias rumah adat mereka merupakan simbol kemegahan.
Rumah adat mereka dikenal dengan istilah OMO HADA. Omo hada terbagi atas 3
bagian berdasarkan bentuk atap, denah lantai, dan bangunan. Tipe yang terdapat
dalam rumah adat Nias berbeda pada setiap daerahnya yaitu :
v Nias Utara : bentuk atapnya bulat
dan bentuk denahnya oval
v Nias Tengah : bentuk atap bulat dan
bentuk denah segi empat
v Nias Selatan : bentuk atap segi
empat dan bentuk denahnya persegi
Omo
hada Nias atapnya terdiri dari struktur yang lebih ringan dengan ruangan bawah
atap yang tanpa halangan, dan lantai tingkat yang berada diatas sebagai lantai
tempat tinggal utama. Rumah adat ini juga tidak menggunakan paku besi untuk
menghubungkan setiap masing-masing bagian dari rumah tersebut. Tetapi mereka
menghubungkannnya dengan mengggunakan pasak kayu, namun terbukti bahwa omo hada
kokoh dan tahan terhadap gempa. Contohnya saja dengan omo hada utara, rumah
adat ini bukan saja hnaya menampilkan kesan monumental tetapi juga berperan
sebagai wadah tempat tinggal yang luas dan sangat nyaman. Untuk memasuki
rumah
adat ini terlebih dahulu harus menaiki tangga yang mempunyai anak tangga dan
selalu ganjil 5 - 7 buah, kemudian memasuki pintu rumah yang ada dua macam
yaitu seperti pintu rumah biasa dan pintu horizontal yang terletak di pintu
rumah dengan daun pintu membuka ke atas. Pintu masuk dibuat seperti karena
mempunyai maksud untuk menghormati pemilik rumah juga agar setiap musuh sukar
menyerang ke dalam rumah bila terjadi peperangan.

Denah ruangan dengan pola open lay
out memudahkan penghuni rumah mengatur dan menata setiap ruangan sesuai dengan
selera masing-masing. Pola umum dari rumah adat ini adalah membagi ruangan
menjadi empat bagian yaitu :
1. Ruangan pertama adalah Tawalo yaitu
berfungsi sebagai ruang tamu, tempat bermusyawarah, dan digunakan juga sebagai
tempat tidur para jejaka.
2. Ruangan kedua bule tempat duduk
tamu.
3. Ruangan ketiga dane-dane tempat
duduk tamu agung.
4. Ruangan keempat Salohate yaitu tempat sandaran tangan
bagi tamu agung
5. Ruangan kelima harefa yakni untuk
menyimpan barang-barang tamu.
Di belakang ruang Tawalo adalah
ruang Forema yaitu ruang untuk keluarga dan tempat untuk menerima tamu wanita
serta ruang untuk makan para tamu agung. Di ruang ini juga terdapat dapur dan
disampingnya adalah ruang tidur. Di suku Nias Selatan ada pembagian kasta dan
kedudukan dalam kehidupan masyarakatnya yaitu :
Ø
golongan
bangsawan atau si Ulu
Ø
golongan
pemuka agama atau Ene
Ø
golongan
rakyat biasa atau ono embanua
Ø
golongan
Sawaryo yaitu budak
Cukup dengan meletakkan dinding
penyekat bersilangan tegak lurus satu sama lain yang berada ditengah ruangan.
Pada tempat lain yang diinginkan, dinding papan bisa diganti dengan jerajak
atau jendela lebar untuk menciptakan ruangan terbuka. Diruangan duduk ada
lantai yang sengaja ditinggikan dan bangku diletakkan menempel pada dinding.
Bangku dibuat seperti itu agar penghuni rumah dapat memandang kearah luar
rumah. Dinding omo hada dibuat miring agar setiap kegiatan yang dilakukan
didalam rumah tidak kelihatan dari luar rumah, walaupun jerajak atau jendelanya
tetap terbuka lebar disepanjang hari. Ukuran rumah yang cukup lebar membuat
setiap angin, udara dan cahaya bebas keluar masuk ruangan. Ruangan dapur dan
dudukjuga terdapat salah satu bagian atap yang berfungsi sebagai sky light,
caranya adalah cukup dengan mendorong kearah luar lalu menopangnya dengan
tongkat dari dalam rungan.

1.3 Lompat Batu (Fahombo)
Kebudayaan adat yang
paling terkenal di Pulau Nias adalah tradisi lompat batu. Tradisi lompat batu ini
biasanya disebut dengan fahombo atau hombo batu. Kebudayaan adat fahombo atau
lompat batu ini bisa ditemukan di Desa Bawo Mataluo (Bukit Matahari), teluk
dalam dan Kabupaten Nias Selatan. Fahombo hanya dapat dilakukan oleh para
lekaki saja dan tidak diperbolehkan oleh para wanita untuk mengikuti adat ini.
Tradisi yang dijalankan masyarakat nias ini telah berlangsung selama
berabad-abad. Kebudayaan adat lompat batu atau fahombo diwariskan secara turun
– temurun pada setiap keluarga dari ayah kepada anak lelakinya. Tradisi fahombo
Nias untuk ritual pendewasaan bagi kaum pria ini mirip dengan lompat gawang dan
lompat jauh diatletik dalam olahraga. Fahombo tidak dapat dilakukan oleh
sembarangan orang meskipun mereka telah melakukan latihan sejak kecil. Menurut
kepercayaan masyarakat setempat fahombo mampu dilakukan oleh para pemuda Nias
karena faktor genetika. Apabila dahulunya ayah atau kakek mereka seorang
pelompat batu atau seorang pemberani, maka diantara para putera lekakinya pasti
ada yang mampu untuk melakukan lompat batu atau fahombo. Tetapi masyarakat nias
juga percaya bahwa selain latihan, ada unsur magic dari roh leluhur agar para
pemuda nias dapat melakukan fahombo (lompat batu) dengan sempurna.
Para pemuda yang baru
saja akan belajar melakukan fahombo atau lompat batu harus terlebih dahulu
memohon restu dan menaati roh-roh para pelompat batu yang telah meninggal. Para
pemuda ini harus memohon izin kepada arwah leluhurnya yang semasa hidupnya dulu
sering sekali melakukan fahombo atau lompat batu. Tujuan para pemuda melakukan
ini agar pada saat mereka melakukan lompat batu atau fahombo terhindar dari
kecelakaan pada saat mengudara maupun pada saat melakukan pendaratan. Karena
tidak jarang para pemuda yang melakukan fahombo ini mengalami cedera atau patah
tulang.
Awal munculnya tradisi
lompat batu ini karena pada dahulunya tradisi ini dilahirkan dari kebiasaan
perang yang dilakukan antara penduduk desa yang ada di Pulau Nias. Desa-desa di
Pulau Nias dipimpin oleh kaum bangsawan yang berasal dari strata balugu, yang
merupakan strata paling tertinggi dalam 12 sistem strata yang di jalankan oleh
masyarakat Nias. Strata Balugu adalah strata yang berasal dari kaum bangsawan,
dan hanya strata balugu sajalah yang boleh menjadi kepala suku dalam masyarakat
nias. Kepala suku dikenala dengan sebutan si’ulu. Para kaum bangsawan
mengadakan seleksi kepada seorang pria Nias agar dijadikan sebagai prajurit
untuk berperang. Karena pada saat berperang dibutuhkan fisik yang kuat,
menguasai ilmu bela diri serta ilmu-ilmu hitam. Selain menguasai teknik-teknik
itu, mereka juga harus mampu untuk melompati sebuah batu yang disusun setinggi
2 meter tanpa menyentuh permukaan dari batu dan mampu melakukan pendarat dengan
sempurna. Suku-suku yang ada di Pulau Nias sering melakukan peperangan karena
terprovokasi oleh rasa dendam, perempuan, perbatasan lahan dan masalah
perbudakan yang terdapat pada daerah mereka. Hal ini mengundang desa yang satu
menyerang desa yang lain, sehingga para prajurit yang ikut dalam penyerangan,
harus memiliki ketangkasan melompat untuk menyelamatkan diri.
Dari budaya perang
inilah masyarakat nias mewarisi sifat-sifat keras dan kuat.akan tetapi pada
dahulu kala ketika tradisi berburu kepala manusia masih dijalankan masyarakat
setempat, mereka harus berlari dan mampu melompat pagar atau benteng desa yang
telah dibangun oleh penduduk desa setempat. Sehingga masing-masing desa
membentengi wilayahnya dengan batu atau bambu yang dibuat setinggi 2 meter
supaya masyarakat desa tidak terperangkap oleh jebakan yang telah dibuat oleh
masyarakat desa lain. Dan para pemuda yang mampu melewati peperangan dan
kembali kedesanya dengan selamatlah dikatakan sebagai pahlawan. Dari sinilah
awal munculnya tradisi lombat batu (fahombo) dimulai sebagai persiapan sebelum
melakukan peperangan.


![[Image: lompat-batu.gif]](file:///C:\DOCUME~1\User\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image012.gif)
Tradisi lompat batu
atau fahombo telah membuat Kepulauan Nias dan masyarakatnya menjadi terkenal
dimata dunia. Tradisi ini juga telah menjadi tradisi yang begitu menakjubkan
para wisatawan, karena tidak semua pemuda dalam Suku Nias mampu melakukan
fahombo atau loncatan batu. Pada jaman sekarang ini tradisi fahombo sebagai
ritual adat suku nias sudah mulai pudar. Memudarnya tradisi fahombo di Nias
dikarenakan tingkat kesulitannya yang begitu tinggi, sehingga para generasi
baru ataupun pendatang kesulitan dalam menjalankan tradisi fahombo atau lompat
batu. Tradisi fahombo sekarang bukan lagi menjadi kebudayaan adat yang sakral
melainkan menjadi suatu atraksi yang dilakukan untuk menarik minat wisatawan
datang ke daerah mereka. Masyarakat Suku Nias menjadikan fahombo sebagai
atraksi pariwisata yang spektakuler, yang dijadikan sebagai tontonan bagi para
turis asing yang datang berkunjung ke wilayah mereka. Berbagai atraksi gaya
dilakukan para pemuda Nias dalam melakukan loncatan batu atau hombo batu.
Macam-macam gaya
tersebut mereka lakukan pada saat mereka mengudara. Gaya-gaya yang berani
mereka lakukan adalah gaya menarik pedang, dan ada juga gaya dengan menjepit
pedangnya menggunakan gigi. Para wisatawan yang datang ke Pulau Nias ini
kebanyakan ingin melihat atraksi fahombo atau hombo batu yang dilakukan oleh
para pemuda Nias. Karena bagi para turis asing atau pengunjung yang datang ke
Pulau Nias tidak akan puas rasanya apabila mereka tidak melihat pemuda Nias
melakukan loncatan batu atau fahombo. Itulah sebabnya masyarakat Pulau Nias
telah menjadikan tradisi fahombo menjadi kegiatan dan aktivitas yang komersial.
Disisi lain para pemuda ada yang memaksa para wisatawan untuk membayar apabila
ingin melihat lompat batu atau fahombo.
1.4 Tari Perang (Fatele atau foluaya)


Tari Fataele tidak bisa
dipisahkan dengan tradisi Lompat Batu Nias, karena lahirnya berbarengan dengan
tradisi Homo Batu. Dan tari fataele dan hombo batu sama-sama memiliki fungsi
sebagai pelindung kampung. Dahulu kala Suku Nias sering berperang antarkampung.
Awal mula tari perang ini muncul pada saat masyarakat desa melakukan ronda atau
yang dikenal di Nias adalah Fana’a. Pada saat melakukan ronda mereka mendengar
aba-aba bahwa desa mereka diserang oleh musuh, maka seluruh prajurit berkumpul
untuk kembali menyerang musuh. Pada waktu penyerangan atau pertempuran yang
penduduk desa lakukan, mengambil semua peralatan yang mereka butuhkan pada saat
perang. Para prajurit yang akan berperang kemudian memegang perisai dan tombak.
Tombak pada tangan kanan digunakan sebagai alat untuk melawan serangan dan
menyerang musuh. Sedangkan Perisai yang dipegang pada tangan kiri mereka
digunakan sebagai alat untuk melindungi para prajurit perang dari serangan
musuh ketika musuh menyerang, apabila musuh menggunakan senjata maupun alat
yang bisa mematikan atau mencabut nyawa prajurit.
Maka pada saat
melakukan peperangan ada sebagian kepala musuh yang mereka penggal yang
kemudian akan mereka persembahkan pada Raja. Pada saat menyerahkan kepala musuh
yang mereka penggal kepada raja, kemudian para prajurit mengutuk musuh dengan
berkata “AEHOHOI” yang berarti tanda kemenangan pada desa mereka. Penduduk desa
melakukan serua “HEMITAE” untuk mengajak dang menyemangati diri mereka dalam
memberikan laporan kepada raja mereka yang bertempat dihalaman. Para penduduk
yang menyatakan seruan mereka sambil melakukan tarian Fadohilia, yang kemudian
menyerahkan binu atau penggalan kepala musuh itu kepada raja.
Kemudian raja menyambut
para pasukan perang itu dengan penuh rasa sukacita. Lalu raja menyerahkan Rai
yang berarti mahkota kepada para prajurit perang. Rai diberikan sebagai tanda
jasa kepada prajurit perang karena telah mampu mengalahkan musuh. Akan tetapi
raja tidak hanya memberikan Rai saja, raja juga memberikan emas beku kepada
para prajurit perang dan diikuti dengan mengadakan pesta besar-besaran.
Kemudian raja memerintahkan “Mianetogo Gawu-gawu Bagaheni” dengan fatele yang
menunjukkan ketangkasan dengan melompat-lompat lengkap dengan menggunakan
senjatanya yang disebut Famanu-manu yang ditunjukkan oleh dua orang prajurit
yang saling berhadap-hadapan. Dalam melakukan tari fatele atau fouaya para
penari menggunakan pakaian warna warni terdiri dari warna hitam, kuning dan
merah, dilengkapi dengan mahkota di kepala. Layaknya kesatria dan dalam
peperangan penari juga membawa Tameng, pedang dan tombak sebagai alat
pertahanan dari serangan musuh. Tameng yang digunakan terbuat dari kayu
bebentuk seperti daun pisang berada di tangan kiri yang berfungsi untuk
menangkis serangan musuh. Sedangkan pedang atau tombak berfungsi untuk melawan
serangan musuh. Kedua senjata ini merupakan senjata utama yang digunakan
kesatria nias untuk berperang.
Pada saat pertunjukan
prosesi tarian ini dipimpin seorang komando seperti prosesi dalam perang yang dipimpin oleh
seorang panglima perang. Kemudian komando atau panglima akan mengomando penari
untuk membentuk formasi berjajar panjang yang terdiri dari empat jajar. Posisi
komando berada di depan menghadap kearah penari. Tarian kemudian dimulai dengan
gerakan kaki maju mudur sambil dihentakkan ke tanah dan menerikkan kata-kata
pembangkit semangat. Makna gerakan ini adalah kesiapan pasukan untuk maju ke
medan perang dengan penuh semangat kepahlawanan. Kemudian diikuti dengan
formasi melingkar yang bertujuan untuk mengepung musuh, setelah musuh terkepung
para kesatria akan dengan mudah untuk melumpuhkan mereka. Gerakan Tari Faluaya
bersifat sangat dinamis, setiap hentakan kaki yang diiringi oleh musik dan
gerakan mengayunkan tombak dan pedang menggambarkan semangat dari para pejuang
perang dalam mempertahankan kampung mereka dari serangan musuh. Tidak hanya itu
saja, suara yang mereka keluarkan juga merupakan ekspresi ketangkasan dan
kepahlawanan para kesatria.
Namun pada zaman
sekarang ini tradisi tari perang atau foluaya bukan lagi digunakan pada saat perang melawan musuh. Karena
didaerah Nias sudah tidak ada lagi ditemukan peperangan. Tetapi kini tari
perang hanya dilakukan pada hari tertentu dan merayakan acara-acara tertentu
saja. Tari perang juga digunakan sebagai tari dalam penyambutan tamu.
1.5 Perkawinan Suku Nias
Perkawinan dalam adat Nias merupakan hal yang paling penting
dan sangat bersifat sakral. Perkawinan dalam adat Nias sudah ditentukan dengan
siapa dia akan menikah, pertunangan itu dimulai sejak anak-anak. Selama proses
pertungan hingga akhirnya nikah, sang gadis tidak boleh memperlihatkan dirinya
ke pasangannya. Dan proses tidak memerlukan adanya persutujuan dari si gadis
atau tidak. Masyarakat Suku Nias, menganggap bahwa perkawinan adalah kehidupan
yang harus diteruskan diatas bumi ini karena harus dijalankan dengan hukum adat
atau fondrako. Perkawinan yang terjadi di Nias dilakukan dengan sistem
mengambil isteri diluar clan/fam (marganya atau dnegan nama lain sistem
exogam). Perkawinan boleh dilakukan dnegan kerabat mereka sendiri, tetapi harus
mencapai 10 tingkatan atau 10 generasi. Perempuan dianggap sebagai sumber
kehidupan, menikahi perempuan di Nias
disebut juga MANGAI TANOMO NIHA ( mengambil benih manusia ) yang terdapat pada
pihak perempuan yang disebut dengan istilah UWU atau Sibaya atau Ulu ( artinya
= paman /saudara ibu ). Perempuan dilambangkan sebagai hulu atau kehidupan dan
laki-laki disimbolkan sebagai hilir atau kematian. Maka untuk memiliki
kehidupan, lelaki harus melawan arus sungai atau manoso disebut Soroi Tou,
menuju hulu atau pihak perempuan yang berada diatas ngofi atau tepian sungai
kehidupan itu. Gambaran melawan arus yang dilakukan oleh para laki-laki Nias
inilah yang merupakan simbol tradisi jujuran yang harus dibayar oleh pihak
lelaki, jujuran (bowo) berarti budi baik. Besarnya jujuran (bowo) yang
dilaksanakan oleh lelaki, menjadi ukuran prestise atau harga diri.
Tahap-tahap dalam mencari jodoh adalah sebagai berikut :
a. Manandra Fangifi (Daerah Tuhegewo,
Amandraya, Aramo) artinya yaitu mereka melihat jodonya baik atau tidak
berdasarkan mimpi calom mempelai laki-laki.
b. Famaigi todo manu (Lolowa’u) artinya
yaitu melihat jodoh baik atau tidak dari pemeriksaan jantung ayam.
Ketika sang mempelai laki-laki telah
menemukan jodohnya, maka selanjutnya mempelai laki-laki harus melakukan
beberapa adat atau langkah yang harus dilakukan oleh mempelai laki-laki.
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1.
Kunjungan kerumah mertua (Fangoro)
Pihak laki laki yang akan melamar mempelai perempuan,
menyampaikan lamaran secara resmi kepada pihak perempuan. Sebagai tanda jadi
peminangan diserahkan Afo si Sara, yang
berupa :
· Tawuo = sirih
· Betua = kapur sirih
· Gambe = gambir
· Fino = pinang
· Bajo = tembakau
Yang
kemudian semua daun lembar sirih sebanyak 100 disusun dan kemudian dibungkus
dengan rapi. Pertunangan ini memiliki acara ini dan secara resmi yang
berlangsung di rumah pihak perempuan. Pada proses tahapan ini masih longgar
atau yang dikenal dengan istilah fohu-fohu bulu ladari ( diikat dengan dun
ladari ). Dan masih dapat dibatalkan dengan resiko apapun juga. Pada acara
pertungan didaerah moro dikenal dengan sebutan famaigi bowo. Acara pertungan
ini dipimpin oleh satua famigi bowo atau
seorang pembawa acara meliputi :
- Penyerahan babi jantan hidup yang berukuran 7 alisi (50 kg)
- Penyerahan Afo si Sara (sirih) kira-kira 100 lembar,gambir 25 biji ,tembakau 1 ons, pinang 20 biji, kapur sirih 1 ons, dibungkus dengan baik, dalam bungkusan diselipkan cincin belah rotan (suasa) untuk bahan tukar cincin, jika dipakai cincin emas dianggap menantang pihak perempuan tentang jujuran.
- Kepada pihak mempelai perempuan disampaikan maksud dan tujuan kedatangan, kemudian disambut oleh ketua adat pihak perempuan,setelah selesai lalu dilanjutkan makan bersama.
2.
Penentuan Jujuran (Fanema Bola)
Acara penghitungan jujuran ini disebut femanga bawi nisila
hulu ( = artinya seekor babi dibelah dua dari kepala sampai ekor; separoh untuk
perempuan dan separohnya untuk lelaki. Kunjungan pihak perempuan ke rumah pihak
lelaki tanpa disertai penganten perempuan, hanya disertai saudara laki-laki
dari pihak perempuan. Kedatangan pihak
perempuan disambut dengan memberikan 2 ekor babi besar (50 kg) untuk dimakan
bersama, kemudian babi dibelah sama rata. Sebagai simbol kesepakatan untuk
mempersatukan dua keluarga sebagai tanda pertunangan tidak dapat dibatalkan
lagi. Jika batal perempuan harus mengembalikan jujuran berlipat ganda atau
pihak pria tidak menerima jujuran jika batal sepihak oleh pria. Acara ini
pertunangan mempunyai nama yang berbeda pada setiap daerahnya yang disebut dengan :
• Fanunu manu sebua ( Daerah Laraga
)
• Famorudu nomo ( Moro’o)
• Fangerai bowo ( Daerah
Aramo,To’ene)
• Fanofu bowo ( Bawomataluo )
• Mamalua angeraito bowo
Besarnya
jujuran yang harus dibayar oleh pihak laki-laki berbeda. Tergantung pada
derajat sosial dan wilayah adat yang dimiliki oleh pihak laki-laki tersebut.
Derajat sosial pada daerah Nias Selatan terbagi atas :
a. Si’ulu ( Kaum Bangsawan )
b. Si’ila ( Kaum Cerdik Pandai )
c. Sato ( Masyarakat Awam )
Derajat
sosial di Nias Utara, Tengah, Barat terbagi atas :
a. Bosi si siwa
b. Bosi siwalu
c.
Bosi si fitu
3. Pembayaran Uang Mahar
Keluarga pria datang ke pihak perempuan untuk membayar mahar
dengan membawa seperangkat sirih dan 10 gram emas. Pihak perempuan menyambut
dengan menyediakan 3 ekor babi, untuk :
a. Satu ekor untuk rombongan yang
datang.
b. Satu ekor untuk ibu pengantin pria
c. satu ekor lagi dibawa pulang
hidup-hidup
4.
Melihat Babi Adat
Pihak perempuan yang datang kemudian melihat kedua ekor babi
perkawinan yang telah disediakan oleh mempelai laki-laki. Cocok atau tidak
menurut persyaratan, kedua ekor babi tersebut melambangkan kedua pihak keluarga
mempelai, dan babi itu dipelihara secara khusus sejak kecil hingga pada
akhirnya besarnya mencapai sekitar 100 Kg atau bahkan lebih, babi tidak boleh
ada cacat pada tubuhnya, ekornya mesti panjang,
dan warna bulunya harus sama dan tidak boleh berwarna belang atau merah,
warnya harus satu hitam atau putih. Babinya harus berwibawa (terlihat dari
taring, ekornya ,bulu tengkuknya). Pada saat fanu’a bawi pihak pria harus menyediakan
dua ekor babi untuk dimakan secara bersama dan pada saat pihak perempuan akan
pulang kerumahnya mempelai laki-laki kemudian menyerahkan 10 gram emas dan sebagian daging babi tadi.
Materi acara dalam Fanu’a Bawi adalah :
® Menentukan hari dan tanggal
perkawinan (falowa)
® Persiapan sehubungan perlengkapan
perkawinan.
® Menghitung/mengingatkan jumlah mahar
yang masih belum dibayarkan
Besar
bowo (mahar) ditentukan dengan tinggi rendahnya kedudukan yang dimiliki dalam
adat. Penerimaan Bowo adalah sebagai berikut :
® Tolambowo ( orang tua kandung )
menerima 100 gram emas
® Bulimbowo ( famili terdekat )
menerima 20 gram emas dan dibagi rata.
® Pelaksanaan penerimaan bowo ini
dilakukan pada waktu pesta perkawinan.
5.
Mengambil beras bantuan (Fangai’ Bowo)
Setelah adat melihat babi, kemudian pihak perempuan datang
kembali kerumah pihak laki-laki untuk mengambil bantuan beras. Hal dilakukan
sebagai tanda bahwa perkawinan tidak boleh berubah lagi atau dibatalkan. Jumlah
beras yang diambil adalah sebanyak = 4 Zoe + 2 Lauru.
6.
Nasehat untuk calon mempelai (Famae’e)
Tiga hari sebelum perkawinan dilakukan upacara fame’e
(tuntunan cara hidup untuk berumah tangga) calon pengantin pria ditemani
teman-temannya datang ke rumah perempuan membawa seperangkat sirih. Yang
kemudian para ibu-ibu dari pihak keluarga perempuan menasehati sang gadis, dan
biasanya acara ini disertai dengan tangisan dari pihak perempuan ( fame’e
artinya menangisi sigadis, karena akan pisah dengan keluarga ).
Pada saat acara fame’e dimulai maka dibunyikanlah gong
(aramba) dan gendang (gondra) secara terus menerus, hingga sampai hari pesta
akan dilaksanakan. Sang mempelai perempuan kemudian akan dipingit, untuk
menjaga kesehatan dan kecantikan yang dimilik. Dalam adat Suku Nias, peran
paman sangat dihormati (paman atau disebut sibaya, saudara laki-laki ibu
sigadis)sebelum pernikahan akan dilangsungkan, maka pihak perempuan
melaksanakan Fogauni Uwu (Mohon doa restu Paman untuk pelaksanaan pernikahan).
7.
Mengantar babi adat (Folau Bwi)
Sehari sebelum perkawinan akan dimulai pihak laki-laki harus
mengantar kedua ekor babi perkawinan dan seekor pengiringnya ke rumah keluarga
pihak perempuan. Dua babi adat ini diberangkatkan dari rumah keluarga laki-laki
dengan menggunakan upacara adat
tertentu, dan disambut oleh pihak perempuan juga dengan upacara tertentu
sambil dengan mengucapkan syair yang berbalas-balasan. Kedatangan rombongan
pihak laki-laki disambut dengan memotong dua ekor babi yang dimakan bersama
yang kemudian juga akan dibawa pulang. Acara ini disebut Fondroni Bawi, dengan
rincian pembagian Babi Adat adalah sebagai berikut :
- Babi yang pertama yaitu babi yang paling besar untuk keluarga perempuan (So’ono) dan pihak paman si gadis (Uwu)
- Babi yang kedua, di khususkan bagi warga kampung keluarga perempuan (Banua) dan pihak laki-laki (Tome)
Menguliti dan memotong-motong babi
ternyata tidak bisa dilakukan sembarangan orang. Karena babi yang paling besar
jatuh pada keluarga yang paling dihormati oleh keluarga yang membuat pesta, demikian seterusnya hingga babi yang
paling kecil. Yang paling sulit adalah melepas rahang (simbi) pada babi, karena
simbi tidak boleh rusak. Simbi adalah bagian paling berharga dari babi.
8.
Pesta perkawinan dilakukan didua tempat (Falowa)
§ Pesta perkawinan yang diadakan
dirumah mempelai perempuan.
Pada saat hari pernikahan sang paman datang dan disambut
dengan memotong dua ekor babi penghormatan, kemudian rombongan penganten Pria
datang membawa keperluan Pesta dan
menyerahkan sirih sebagai tanda penghormatan. Penyelesaian bowo untuk
tolambowo (orang tua kandung) menerima 100 gram emas dan Bulimbowo (famili
terdekat) menerima 20 gram emas dan dibagi rata kepada semua famili. Demikian
juga io naya nuwu (mahar untuk paman) turut dibayarkan. Puncak acara
dilaksanakan fanika gera’era atau membuka
yaitu perhitungan kembali semua mahar (jujuran/bowo atau disebut juga
boli gana’a (boli yaitu harga ana’a artinya emas) baik yang sudah maupun yang
belum dilunasi, oleh pihak keluarga laki-laki . Arti bowo adalah budi baik.
Setela acara diatas selesai kemudian dilanjutkan dengan acara pemotongan Babi
Adat, yang dipotong dengan cara, dibelah dari atas sampai ekor dibagi 2. Yang
kemudian dibagi sama rata susai adat.
§ Mengantar penganten wanita (Famasao
Ni’owalu)
Pelaksanaan dirumah tempat laki-laki, Penganten perempuan
kemudian ditandu oleh saudara laki-laki si gadis di kursi tandu yang telah
dihiasi. Di rumah pihak laki laki rombongan disambut dengan upacara adat (
fangowai ) dan tari maena serta doa salam serta sirih. Rombongan dijamu dengan
pemotongan babi yakni :
a. Ekor untuk yang mengantar
b. 2 Ekor untuk same’go ( ibu penganten perempuan
)
c. 2 Ekor untuk para tamu
Penganten
perempuan lalu diserahkan kepada pihak penganten laki yang disambut oleh dua
orang ibu muda yang belum mempunyai anak. Pengantin wanita diberi nama baruatau
gelar yang diawali kata saorta yang artinya pelabuhan atau barasi yang artinya
emas termahal yang mempunyai makna bahwa pengantin perempuan telah menjadi anak
mertuanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan diatas memberikan
gambaran bahwa kehidupan di Suku Nias mempunyai banyak sekali peradapan
kebudayaan dan adat istiadat yang tersimpan. Setiap kebudayaan mereka sangat
berarti besar dan dijunjung tinggi oleh masyarakat sekitar. Pentingnya pelestarian
adat istiadat Suku Nias karena pulau Nias masih termasuk Indonesia. Bagi
masyarakat Nias kebudayaan mereka menjadi modal utama bagi mereka agar mereka
dikenal orang melalui cirri khas daerah yang mereka miliki. Bahkan kebudayaan
mereka menjadi sumber pemasukan daerah, karena banyaknya para turis asing yang
mengunjungi daerah mereka untuk melihat adat istiadat mereka.
B. Saran
Sebaiknya setiap kebudayaan yang
terdapat di Negara Indonesia harus dilestarikan. Karena di Indonesia sendiri
terdapat banyak sekali Provinsi dan beribu Pulau yang menyimpan kebudayaannya
masing-masing. Oleh karena itu, pemerintah maupun masyarakat saling bersatu
untuk tetap menjaga dan merawat kebudayaannya hingga anak cucu dapat
merasakannya.
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar