Selasa, 10 Desember 2013

Suku Nias



TUGAS MANDIRI
Kebudayaan Suku Nias
Mata Kuliah: Pengantar Antropologi

logoupb

Nama Mahasiswa       : Aslita Hafni Veronika Sihombing
NIM                            : 131010040
Kode Kelas                 : 131-CM008-M3
Dosen                          : Mellisa Anggraini, SH, MH.


UNIVERSITAS PUTERA BATAM
2013

KATA PENGANTAR


            Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai penulis dalam pembuatan makalah Antropologi, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas mandiri yang diberikan oleh Dosen Mellisa Angraini, SH,MH. Dengan judul KEBUDAYAAN ADAT SUKU NIAS, kiranya makalah yang dibuat oleh penulis dapat menuntaskan nilai tugas mandiri. Dan makalah ini dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana adat-adat yang ada di Suku Toraja.
            Terima kasih kepada orang tua yang telah memberikan motivasi dan dorongan yang berupa materi dalam penuntasan makalah antropologi ini. Dengan segala usaha  maksimal yang penulis lakukan dalam pembuatan makalah, penulis tentu saja sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak.
Batam, 08 Desember 2013

Aslita Hafni Veronika Sihombing
Npm: 131010040













DAFTAR ISI
B.Saran..……………………………………………………………………………………20


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu Negara yang terdiri atas beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil yang berada didalamnya. Indonesia termasuk dalam sebuah Negara maritim yang dimana lautannya lebih luas dibandingkan dengan daratan. Perbandingan antara luas lautan dan luas daratan adalah 4 : 1.  Secara geografis, Indonesia merupakan Negara yang memiliki letak yang strategis. Karena letaknya yang strategis Negara Indonesia dijadikan sebagai Bandar Internasional bagi para kapal-kapal yang akan melakukan perjalanan mengelilingi dunia. Indonesia diapit oleh dua samudera dan dua benua. Dua benua yang mengapit indonesia adalah Benua Asia dan Benua Australia. Dan samuderanya adalah Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Posisi letak geografis indonesia begitu menguntungkan indonesia baik dalam kesejahteraan masyarakat, kebudayaan, dan ekonomi .
Pulau-pulau utama yang terdapat di Indonesia yaitu Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan, dan Pulau Irian. Pulau-pulau tersebut menyimpan banyak sekali keanekaragaman kebudayaan dan pariwisata yang begitu menarik pesona. Sehingga menarik para wisatawan untuk datang menikmati kebudayaan dan mengunjungi tempat-tempat pariwisata tersebut. Kebudayaan yang ada di Indonesia bukan hanya kebudayaan tradisional saja tetapi juga ada terdapat kebudayaan moderen akibat dari pengaruh globalisasi. Kebudayaan tradisional yang ada di Indonesia sudah dikenal didunia mancanegara. Tradisi kebudayaan adat istiadat yang dimiliki oleh setiap daerah merupakan ciri khas dari daerah tersebut agar masyarkat mengetahui kebudayaan daerah itu.
Dalam Provinsi Sumatera Utara terdapat Kepulauan Nias, yang menyimpan begitu banyak kebudayaan. Masyarakat Nias memberi nama pada daerah tempat tinggal mereka dengan sebutan "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan, Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tano Niha" (Tano = tanah). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Masyarakat Nias kuno adalah masyarakat yang hidup dalam budaya megalitik (batu besar) yang dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat)dan di tempat-tempat lain sampai pada saat zaman sekarang ini.


 

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dibahas oleh penulis diatas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah diantaranya adalah :
1.     Dimanakah letak Kepulauan Nias berada dan gambaran Pulau Nias ?
2.     Bagaimana perkembangan dan peradaban Suku Nias ?
3.     Apa saja kebudayaan yang terdapat di Nias ?
4.     Jelaskan asal mula kebudayaan Suku Nias !

1.3 Tujuan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.     Untuk mengetahui dimana Kepulauan Nias berada
2.     Mampu mendeksripsikan perkembangan dan peradaban Suku Nias
3.     Mengetahui bahwa di Pulau Nias terdapat banyak kebudayaan khas daerah
4.     Untuk mengetahui asal mula munculnya kebudayaan Suku Nias


BAB II

SUKU NIAS

Nias merupakan suatu pulau yang terdapat dalam Provinsi Sumatera Utara. Pulau Nias memiliki sebuah Kabupaten Nias Selatan dengan ibu kotanya Teluk Dalam. Pulau yang memiliki luas wilayah 5.625 kilometer persegi dengan sistem kepemimpinan kampung yang memimpin Suku Nias adalah seorang kepala desa atau kepala suku yang biasa disebut dengan “Si’ulu” yang artinya adalah seorang kaum bangsawan. Kepemimpinan seperti ini masih ada hingga sampai sekarang dan bisa kita temukan dalam Kabupaten Nias Selatan. Hukum adat yang terkenal di Nias secara umum disebut dengan “FONDRAKO” yang berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat Pulau Nias dari mereka lahir hingga akhir kematian. Suku Nias juga mengenal adanya sistem kasta dalam kehidupan mereka, yang dimana tingkatan kasta yang mereka jalanin ada 12 tingkatan kasta. Kasta yang paling tertinggi adalah kasta balugu. Masyarakat Nias yang ingin mencapai tingkat kasta yang paling tinggi, terlebih dahulu mereka harus mampu mengadakan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak yang mereka miliki setiap harinya.
Nias memiliki kehidupan sosial yang tinggi, mereka sangat dekat antara warga yang satu dengan warga masyarakat yang lainnya. Pemberian salam kepada sesama mereka merupakan hal yang sangat penting karena nilai tatakramanya sangat tinggi. Bila seseorang tidak saling menyapa atau memberi salam kepada yang lain, maka diantara kedua belah pihak sudah terjadi disintegrasi atau pertengkaran sosial yang mungkin disebabkan oleh sifat, gaya, cara jalan, tutur bahasa, cara berpakaian atau bahkan cara penataan rambutnya yang kurang diterima oleh masyarakat setempat. Jika semua hal yang dilakukan seseorang ataupun kelompok diterima dimasyarakat maka relasi mereka menjadi lebih akrab sehingga setiap bertemu selalu menyapa dengan ucapan “Ya’ahowu”  yang dilanjutkan dengan kata “Yae nafoda” atau bologö dödöu, lö afoda” (ini sirih kita atau maaf kita tidak punya sirih). Dalam situasi tersebut kedua belah pihak saling memakan sirih. Setelah itu baru diakhiri dengan salam kembali dan kata “ya’ami ba lala” (selamat jalan) sebagai kata perpisahan bagi mereka.
Kepulauan Nias menyimpan begitu banyak tempat-tempat pariwisata dan kebudayaan adat. Tempat pariwisata yang ada di Nias tidak kalah menarik dengan pantai yang ada di Bali. Keindahan panorama pantai dan kesejukan anginnya hampir sama, bahkan menyerupai dengan Pulau Bali. Seperti pantai-pantai yang ada di Nias Utara, Nias Selatan, dan Gunung Sitoli. Kebudayaan adat yang ada di Pulau Nias juga beragam mulai dari marga yang terdapat di Nias, makanan dan minuman khas daerah Nias, tari-tarian dan adat lainnya yang membuat Suku Nias dikenal identik dimata masyarakat. Yang tidak kalah menariknya adat perkawinan dalam masyarakat yang begitu rumit menjadikan cirri khas utama daerah tersebut.  Masyarakat Nias mempunyai kebiasaan mendasar yang sering dilakukan oleh Suku Nias. Kebiasaan mendasar mereka sama halnya dengan tatakrama atau sopan santun yang dianut oleh masyarakat tersebut.

1.1 Marga

Masyarakat suku Nias menganut marga yang bersifat patrilineal atau marga berdasarkan garis keturunan dari ayah. Marga yang terdapat dalam suku Nias yaitu :
®    Amazihono, Amuata
®    Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'o, Bawo, Bali, Bohalima, Bu'ulolo, Buaya, Bunawolo, Bulu'aro, Bago, Bawa'ulu, Bidaya, Bazikho, Baewa.
®    Dakhi, Daeli, Daya, Dohare, Dohona, Duha, Duho, Dohude, Dawolo.
®    Fau, Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana, Famaugu.
®    Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari.
®    Halawa, Hala Wawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura, Hoya, Harimao, Halu.
®    Lafau, Lahagu, Lahomi, La'ia, Luaha, Laoli, Laowo, Larosa, Lase, Lawolo, Lo'i, Lombu, Lamolo, Lature, Luahambowo, Lazira, Lawelu, Laweni, Lasara, Laeru, Londu go'o, Larosa
®    Maduwu, Manao, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendrofa, Maruabaya, Moho, Marunduri, Molo.
®    Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya.
®    Ote.
®    Sadawa, Sa'oiago, Sarumaha, Saro, Sihono, Sihura, Sisokhi, Saota.
®    Tafona'o, Telaumbanua, Talunohi, Tajira.
®    Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalo, Warasi, Warae, Wohe.
®    Zagoto, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendrato, Zidomi, Ziliwu, Ziraluo, Zoromi, Zalogo, Zamago zamau.

1.2 Makanan Khas Suku Nias

Makanan khas yang terdapat di daerah Nias yaitu :
·       Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
·       Harinake (daging Babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
·       Godo-godo (ubi atau singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
·       Kofo-kofo (daging yang berasal dari ikan yang kemudian dibentuk bulat dan dijemur atau dikeringkan atau bisa juga diasap)
·       Ni’owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
·       Raki gae (pisang goreng)
·       Tamboyo (ketupat)
·       Loma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)

1.3 Minuman Khas Suku Nias

Selain makanan khas suku Nias juga memiliki minuman khas, yaitu :
§  Tuo Nifaro adalah minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias pohon nira yang artinya adalah tola nakhe) yang telah diolah dengan cara penyulingan)
§  Tuo mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa)

1.4 Peralatan yang di Gunakan Masyarakat Nias

Masyarakat Nias sendiri memiliki nama tersendiri atas semua barang-barang yang mereka miliki, nama peralatannya yaitu :
J Bowoa tanö - periuk dari tanah liat, alat masak tradisional
J Figa lae - daun pisang yang dipakai untuk menjadi alas makanan
J Halu (alat menumbuk padi) – Alu
J Lösu – lesung
J Gala - dari kayu seperti talam
J Sole mbanio - tempat minum dari tempurung
J Katidi - anyaman dari bambu








KEBUDAYAAN ADAT

1.1 Pakaian Adat Nias

            Pakaian adat di Nias merupakan simbol atau penanda bagi daerah Nias. Pakai adat yang digunakan pada laki-laki bernama baru oholu dan pakaian adat pada perempuan dinamakan oroba si’oli. Pakaian adat tersebut biasanya berwarna emas atau kuning yang dipadukan dengan warna lain seperti hitam, merah, dan putih. Adapun cerita dari setiap warna baju itu sendiri antara lain:
  • Warna kuning yang dipadukan dengan corak persegi empat (Ni’obakola) dan pola bunga kapas (Ni’obowo gafasi) digunakan para bangsawan untuk menggambarkan kejayaan kekuasaan, kekayaan, kemakmuran dan kebesaran.
  • Warna merah yang dipadukan dengan corak segi-tiga (Ni’ohulayo atau ni’ogona) dipakai oleh prajurit untuk menggambarkan darah, keberanian dan kapabilitas para prajurit.
  • Warna hitam yang sering dikenakan oleh rakyat tani menggambarkan situasi kesedihan, ketabahan dan kewaspadaan.
  • Warna putih yang sering dikenakan oleh para pemuka agama kuno (Ere) menggambarkan kesucian, kemurnian dan kedamaian.

1.2 Rumah Adat Nias

Bagi setiap suku rumah adat merupakan salah satu lambang dari kebudayaan yang mereka miliki. Begitu juga dengan suku Nias, bagi suku Nias rumah adat mereka merupakan simbol kemegahan. Rumah adat mereka dikenal dengan istilah OMO HADA. Omo hada terbagi atas 3 bagian berdasarkan bentuk atap, denah lantai, dan bangunan. Tipe yang terdapat dalam rumah adat Nias berbeda pada setiap daerahnya yaitu :
v     Nias Utara : bentuk atapnya bulat dan bentuk denahnya oval
v     Nias Tengah : bentuk atap bulat dan bentuk denah segi empat
v     Nias Selatan : bentuk atap segi empat dan bentuk denahnya persegi
Omo hada Nias atapnya terdiri dari struktur yang lebih ringan dengan ruangan bawah atap yang tanpa halangan, dan lantai tingkat yang berada diatas sebagai lantai tempat tinggal utama. Rumah adat ini juga tidak menggunakan paku besi untuk menghubungkan setiap masing-masing bagian dari rumah tersebut. Tetapi mereka menghubungkannnya dengan mengggunakan pasak kayu, namun terbukti bahwa omo hada kokoh dan tahan terhadap gempa. Contohnya saja dengan omo hada utara, rumah adat ini bukan saja hnaya menampilkan kesan monumental tetapi juga berperan sebagai wadah tempat tinggal yang luas dan sangat nyaman. Untuk memasuki http://xdesignmw.files.wordpress.com/2009/08/rumahrajaomosebuadidesahilinawaloma2.jpg?w=300rumah adat ini terlebih dahulu harus menaiki tangga yang mempunyai anak tangga dan selalu ganjil 5 - 7 buah, kemudian memasuki pintu rumah yang ada dua macam yaitu seperti pintu rumah biasa dan pintu horizontal yang terletak di pintu rumah dengan daun pintu membuka ke atas. Pintu masuk dibuat seperti karena mempunyai maksud untuk menghormati pemilik rumah juga agar setiap musuh sukar menyerang ke dalam rumah bila terjadi peperangan.
            Denah ruangan dengan pola open lay out memudahkan penghuni rumah mengatur dan menata setiap ruangan sesuai dengan selera masing-masing. Pola umum dari rumah adat ini adalah membagi ruangan menjadi empat bagian yaitu :
1.     Ruangan pertama adalah Tawalo yaitu berfungsi sebagai ruang tamu, tempat bermusyawarah, dan digunakan juga sebagai tempat tidur para jejaka.
2.     Ruangan kedua bule tempat duduk tamu.
3.     Ruangan ketiga dane-dane tempat duduk tamu agung.
4.     Ruangan  keempat Salohate yaitu tempat sandaran tangan bagi tamu agung
5.     Ruangan kelima harefa yakni untuk menyimpan barang-barang tamu.
Di belakang ruang Tawalo adalah ruang Forema yaitu ruang untuk keluarga dan tempat untuk menerima tamu wanita serta ruang untuk makan para tamu agung. Di ruang ini juga terdapat dapur dan disampingnya adalah ruang tidur. Di suku Nias Selatan ada pembagian kasta dan kedudukan dalam kehidupan masyarakatnya yaitu :
Ø  golongan bangsawan atau si Ulu
Ø  golongan pemuka agama atau Ene
Ø  golongan rakyat biasa atau ono embanua
Ø  golongan Sawaryo yaitu budak
            Cukup dengan meletakkan dinding penyekat bersilangan tegak lurus satu sama lain yang berada ditengah ruangan. Pada tempat lain yang diinginkan, dinding papan bisa diganti dengan jerajak atau jendela lebar untuk menciptakan ruangan terbuka. Diruangan duduk ada lantai yang sengaja ditinggikan dan bangku diletakkan menempel pada dinding. Bangku dibuat seperti itu agar penghuni rumah dapat memandang kearah luar rumah. Dinding omo hada dibuat miring agar setiap kegiatan yang dilakukan didalam rumah tidak kelihatan dari luar rumah, walaupun jerajak atau jendelanya tetap terbuka lebar disepanjang hari. Ukuran rumah yang cukup lebar membuat setiap angin, udara dan cahaya bebas keluar masuk ruangan. Ruangan dapur dan dudukjuga terdapat salah satu bagian atap yang berfungsi sebagai sky light, caranya adalah cukup dengan mendorong kearah luar lalu menopangnya dengan tongkat dari dalam rungan.
https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash2/p206x206/310779_284676361563810_136408358_n.jpg            Biaya pemeliharaan rumah adat omo hada sangat mahal, karena membutuhkan perawatan dan bahan-bahan khusus. Perawatan omo hada dilakukan, agar rumah adat tersebut tetap kelihatan asli dan lestari. Setiap pemilik rumah dengan rutin mengganti atap (sago) rumah dengan daun rumbia (metroxylon sagu) dilakukan sekali dalam setahun. Tergantung pada ketebalan atap yang digunakan. Tetapi dalam penggantian bahan-bahan rumah adat omo hada tidak semudah itu, penggantiaannya memiliki kendala yaitu penggantian atap rumbia tidak dapat dilakukan segalius dan harus dilakukan secara bergantian khususnya pada bagian atap yang sudah lapuk terlebih dahulu. Satu omo hada saja membutuhkan setidaknya 5000 helai (nga’ela) atap rumbia, dan harganya berkisar antara 1.500-2500 per helainya.selain penggantian atap rumah adat, penggantian papan lantai (fata gahembato), dinding, tiang penyangga (ehomo), tiang pondasi (ndriwa) dan struktur rumah lainnya secara keseluruhan berbahan kayu harus diganti dan menghasilkan biaya puluhan juta rupiah.

1.3 Lompat Batu (Fahombo)

Kebudayaan adat yang paling terkenal di Pulau Nias adalah tradisi lompat batu. Tradisi lompat batu ini biasanya disebut dengan fahombo atau hombo batu. Kebudayaan adat fahombo atau lompat batu ini bisa ditemukan di Desa Bawo Mataluo (Bukit Matahari), teluk dalam dan Kabupaten Nias Selatan. Fahombo hanya dapat dilakukan oleh para lekaki saja dan tidak diperbolehkan oleh para wanita untuk mengikuti adat ini. Tradisi yang dijalankan masyarakat nias ini telah berlangsung selama berabad-abad. Kebudayaan adat lompat batu atau fahombo diwariskan secara turun – temurun pada setiap keluarga dari ayah kepada anak lelakinya. Tradisi fahombo Nias untuk ritual pendewasaan bagi kaum pria ini mirip dengan lompat gawang dan lompat jauh diatletik dalam olahraga. Fahombo tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang meskipun mereka telah melakukan latihan sejak kecil. Menurut kepercayaan masyarakat setempat fahombo mampu dilakukan oleh para pemuda Nias karena faktor genetika. Apabila dahulunya ayah atau kakek mereka seorang pelompat batu atau seorang pemberani, maka diantara para putera lekakinya pasti ada yang mampu untuk melakukan lompat batu atau fahombo. Tetapi masyarakat nias juga percaya bahwa selain latihan, ada unsur magic dari roh leluhur agar para pemuda nias dapat melakukan fahombo (lompat batu) dengan sempurna.
Para pemuda yang baru saja akan belajar melakukan fahombo atau lompat batu harus terlebih dahulu memohon restu dan menaati roh-roh para pelompat batu yang telah meninggal. Para pemuda ini harus memohon izin kepada arwah leluhurnya yang semasa hidupnya dulu sering sekali melakukan fahombo atau lompat batu. Tujuan para pemuda melakukan ini agar pada saat mereka melakukan lompat batu atau fahombo terhindar dari kecelakaan pada saat mengudara maupun pada saat melakukan pendaratan. Karena tidak jarang para pemuda yang melakukan fahombo ini mengalami cedera atau patah tulang.
Awal munculnya tradisi lompat batu ini karena pada dahulunya tradisi ini dilahirkan dari kebiasaan perang yang dilakukan antara penduduk desa yang ada di Pulau Nias. Desa-desa di Pulau Nias dipimpin oleh kaum bangsawan yang berasal dari strata balugu, yang merupakan strata paling tertinggi dalam 12 sistem strata yang di jalankan oleh masyarakat Nias. Strata Balugu adalah strata yang berasal dari kaum bangsawan, dan hanya strata balugu sajalah yang boleh menjadi kepala suku dalam masyarakat nias. Kepala suku dikenala dengan sebutan si’ulu. Para kaum bangsawan mengadakan seleksi kepada seorang pria Nias agar dijadikan sebagai prajurit untuk berperang. Karena pada saat berperang dibutuhkan fisik yang kuat, menguasai ilmu bela diri serta ilmu-ilmu hitam. Selain menguasai teknik-teknik itu, mereka juga harus mampu untuk melompati sebuah batu yang disusun setinggi 2 meter tanpa menyentuh permukaan dari batu dan mampu melakukan pendarat dengan sempurna. Suku-suku yang ada di Pulau Nias sering melakukan peperangan karena terprovokasi oleh rasa dendam, perempuan, perbatasan lahan dan masalah perbudakan yang terdapat pada daerah mereka. Hal ini mengundang desa yang satu menyerang desa yang lain, sehingga para prajurit yang ikut dalam penyerangan, harus memiliki ketangkasan melompat untuk menyelamatkan diri.
Dari budaya perang inilah masyarakat nias mewarisi sifat-sifat keras dan kuat.akan tetapi pada dahulu kala ketika tradisi berburu kepala manusia masih dijalankan masyarakat setempat, mereka harus berlari dan mampu melompat pagar atau benteng desa yang telah dibangun oleh penduduk desa setempat. Sehingga masing-masing desa membentengi wilayahnya dengan batu atau bambu yang dibuat setinggi 2 meter supaya masyarakat desa tidak terperangkap oleh jebakan yang telah dibuat oleh masyarakat desa lain. Dan para pemuda yang mampu melewati peperangan dan kembali kedesanya dengan selamatlah dikatakan sebagai pahlawan. Dari sinilah awal munculnya tradisi lombat batu (fahombo) dimulai sebagai persiapan sebelum melakukan peperangan.
https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRCqnE_qwxXQshvOrPBu_icAinL6isVm4km-_GMwRxlieKfXh_ghttps://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQQhYnMhQgZ27tDVGT1J1xDLfg5cDIPtiFo6ZF_VxMWFRUmsRSKAkan tetapi kini tradisi lompat batu bukan lagi dilakukan untuk persiapan perang antara penduduk desa atau antara suku-suku, tetapi lompat batu atau fahombo dijadikan sebagai ritual dan simbol kebudayaan orang Nias. Pada saat anak laki-laki berusia 10 tahun, anak laki-laki yang ada di Pulau Nias sudah bersiap-siap untuk melakukan fahombo atau lompat batu. Sebagai ritual dalam kebudayaan adat Nias, anak laki-laki Nias yang mampu melakukan tradisi ini dianggap sudah dewasa dan matang secara fisik. Dengan menggunakan busana pejuang khas dari daerah Nias, menandakan bahwa para pemuda Nias telah siap bertempur dan mampu memikul tanggung jawab sebagai pria dewasa. Dan laki-laki yang sudah dewasa dalam adat Nias ini dapat menikah. Tetapi disisi lain orang yang berhasil melakukan lompat batu atau fahombo akan dijadikan sebagai pembela dalam penduduk desanya apabila terjadi konflik. Atraksi fahombo atau lompat batu bukan hanya memberikan kebanggan bagi pemudanya saja, tetapi juga memberikan kebanggaan pada keluarganya. Sebelum melakukan fahombo atau lompat batu, para pemuda maupun masyarakat setempat terlebih dahulu harus melakukan upacara ritual khusus. Para pemuda yang akan melakukan lompat batu atau fahombo harus mengenakan pakaian adat dan mereka berlari dengan menginjak batu penopang kecil terlebih dahulu untuk dapat melakukan lompatan batu setinggi 2 meter tersebut. Setelah melakukan upacara ritual itulah baru masyarakat Nias berkumpul untuk menyaksikan para pemuda suku Nias melakukan atraksi fahombo atau lompat batu. Dan bagi para pemuda yang telah berhasil melakukan kebudayaan adat  fahombo atau lompat batu mereka diberikan hak dan tanggung jawab social yang harus mereka jalankan sebagai pria dewasa. Keluarga yang anak laki-lakinya telah berhasil melakukan kebudayaan adat fahombo atau lompat batu akan mengadakan pesta dengan menyembelih beberapa ekor ternak sebagai wujud syukur atas keberhasilan anak laki-laki.
[Image: lompat-batu.gif]Batu yang harus dilompati oleh pemuda nias pada saat melakukan fahombo atau lompat batu. Fahombo adalah sebuah tumpukan batu yang berbentuk piramida yang tingginya batu dari fahombo tersebut harus mencapai sekitar 2 meter dengan panjang 60 cm dan lebar 90 cm. Kemudian para pemuda yang akan melakukan fahombo mengambil ancang-ancang lari yang dilakukan oleh pemuda tersebut tidak begitu jauh. Dengan mengambil ancang-ancang yag tidak jauh tersebut, pemuda Nias akan melaju kencang dan kemudian akan  menginjakkan kakinya pada sebongkah batu lalu melompat ke udara melewati batu besar yang menyerupai bentek. Dalam melakukan fahombo pemuda tersebut tidak boleh menyentuh puncak batu sedikit pun dan harus mendarat dengan sempurna. Jika pemuda tersebut tidak mendarat dengan sempurna, maka resikonya adalah mengalami cidera otot atau patah tulang.
Tradisi lompat batu atau fahombo telah membuat Kepulauan Nias dan masyarakatnya menjadi terkenal dimata dunia. Tradisi ini juga telah menjadi tradisi yang begitu menakjubkan para wisatawan, karena tidak semua pemuda dalam Suku Nias mampu melakukan fahombo atau loncatan batu. Pada jaman sekarang ini tradisi fahombo sebagai ritual adat suku nias sudah mulai pudar. Memudarnya tradisi fahombo di Nias dikarenakan tingkat kesulitannya yang begitu tinggi, sehingga para generasi baru ataupun pendatang kesulitan dalam menjalankan tradisi fahombo atau lompat batu. Tradisi fahombo sekarang bukan lagi menjadi kebudayaan adat yang sakral melainkan menjadi suatu atraksi yang dilakukan untuk menarik minat wisatawan datang ke daerah mereka. Masyarakat Suku Nias menjadikan fahombo sebagai atraksi pariwisata yang spektakuler, yang dijadikan sebagai tontonan bagi para turis asing yang datang berkunjung ke wilayah mereka. Berbagai atraksi gaya dilakukan para pemuda Nias dalam melakukan loncatan batu atau hombo batu.
Macam-macam gaya tersebut mereka lakukan pada saat mereka mengudara. Gaya-gaya yang berani mereka lakukan adalah gaya menarik pedang, dan ada juga gaya dengan menjepit pedangnya menggunakan gigi. Para wisatawan yang datang ke Pulau Nias ini kebanyakan ingin melihat atraksi fahombo atau hombo batu yang dilakukan oleh para pemuda Nias. Karena bagi para turis asing atau pengunjung yang datang ke Pulau Nias tidak akan puas rasanya apabila mereka tidak melihat pemuda Nias melakukan loncatan batu atau fahombo. Itulah sebabnya masyarakat Pulau Nias telah menjadikan tradisi fahombo menjadi kegiatan dan aktivitas yang komersial. Disisi lain para pemuda ada yang memaksa para wisatawan untuk membayar apabila ingin melihat lompat batu atau fahombo.

1.4 Tari Perang (Fatele atau foluaya)

statik.tempo.coTari perang atau foluaya atau fatele adalah tarian khas suku Nias yang merupakan lambang kesatria para pemuda desa yang ada di Pulau Nias. Tari perang ini berfungsi untuk melindungi desa dari para ancaman musuh yang akan mengganggu ketentraman para penduduk Suku Nias. Si’ulu atau kepala suku ternyata membentuk pasukan Fatele tidak hanya untuk keperluan pertahanan kampung tetapi juga untuk kegiatan adat seperti upacara kematian anggota keluarga Si’ulu. Pesan adat seperti pengangkatan Si’ulu yang baru, pernikahan Si’ula dan juga penyambutan tamu kehormatan. Sampai saat ini fungsi dari pasukan Fatele masih tetap sama kecuali fungsi aslinya yaitu sebagai prajurit pertahanan kampung sudah mengalami perubahan. Karena daerah Nias kini tidak ada lagi pertempuran.
Tari Fataele tidak bisa dipisahkan dengan tradisi Lompat Batu Nias, karena lahirnya berbarengan dengan tradisi Homo Batu. Dan tari fataele dan hombo batu sama-sama memiliki fungsi sebagai pelindung kampung. Dahulu kala Suku Nias sering berperang antarkampung. Awal mula tari perang ini muncul pada saat masyarakat desa melakukan ronda atau yang dikenal di Nias adalah Fana’a. Pada saat melakukan ronda mereka mendengar aba-aba bahwa desa mereka diserang oleh musuh, maka seluruh prajurit berkumpul untuk kembali menyerang musuh. Pada waktu penyerangan atau pertempuran yang penduduk desa lakukan, mengambil semua peralatan yang mereka butuhkan pada saat perang. Para prajurit yang akan berperang kemudian memegang perisai dan tombak. Tombak pada tangan kanan digunakan sebagai alat untuk melawan serangan dan menyerang musuh. Sedangkan Perisai yang dipegang pada tangan kiri mereka digunakan sebagai alat untuk melindungi para prajurit perang dari serangan musuh ketika musuh menyerang, apabila musuh menggunakan senjata maupun alat yang bisa mematikan atau mencabut nyawa prajurit.
Maka pada saat melakukan peperangan ada sebagian kepala musuh yang mereka penggal yang kemudian akan mereka persembahkan pada Raja. Pada saat menyerahkan kepala musuh yang mereka penggal kepada raja, kemudian para prajurit mengutuk musuh dengan berkata “AEHOHOI” yang berarti tanda kemenangan pada desa mereka. Penduduk desa melakukan serua “HEMITAE” untuk mengajak dang menyemangati diri mereka dalam memberikan laporan kepada raja mereka yang bertempat dihalaman. Para penduduk yang menyatakan seruan mereka sambil melakukan tarian Fadohilia, yang kemudian menyerahkan binu atau penggalan kepala musuh itu kepada raja.
Kemudian raja menyambut para pasukan perang itu dengan penuh rasa sukacita. Lalu raja menyerahkan Rai yang berarti mahkota kepada para prajurit perang. Rai diberikan sebagai tanda jasa kepada prajurit perang karena telah mampu mengalahkan musuh. Akan tetapi raja tidak hanya memberikan Rai saja, raja juga memberikan emas beku kepada para prajurit perang dan diikuti dengan mengadakan pesta besar-besaran. Kemudian raja memerintahkan “Mianetogo Gawu-gawu Bagaheni” dengan fatele yang menunjukkan ketangkasan dengan melompat-lompat lengkap dengan menggunakan senjatanya yang disebut Famanu-manu yang ditunjukkan oleh dua orang prajurit yang saling berhadap-hadapan. Dalam melakukan tari fatele atau fouaya para penari menggunakan pakaian warna warni terdiri dari warna hitam, kuning dan merah, dilengkapi dengan mahkota di kepala. Layaknya kesatria dan dalam peperangan penari juga membawa Tameng, pedang dan tombak sebagai alat pertahanan dari serangan musuh. Tameng yang digunakan terbuat dari kayu bebentuk seperti daun pisang berada di tangan kiri yang berfungsi untuk menangkis serangan musuh. Sedangkan pedang atau tombak berfungsi untuk melawan serangan musuh. Kedua senjata ini merupakan senjata utama yang digunakan kesatria nias untuk berperang.
Pada saat pertunjukan prosesi tarian ini dipimpin seorang komando seperti  prosesi dalam perang yang dipimpin oleh seorang panglima perang. Kemudian komando atau panglima akan mengomando penari untuk membentuk formasi berjajar panjang yang terdiri dari empat jajar. Posisi komando berada di depan menghadap kearah penari. Tarian kemudian dimulai dengan gerakan kaki maju mudur sambil dihentakkan ke tanah dan menerikkan kata-kata pembangkit semangat. Makna gerakan ini adalah kesiapan pasukan untuk maju ke medan perang dengan penuh semangat kepahlawanan. Kemudian diikuti dengan formasi melingkar yang bertujuan untuk mengepung musuh, setelah musuh terkepung para kesatria akan dengan mudah untuk melumpuhkan mereka. Gerakan Tari Faluaya bersifat sangat dinamis, setiap hentakan kaki yang diiringi oleh musik dan gerakan mengayunkan tombak dan pedang menggambarkan semangat dari para pejuang perang dalam mempertahankan kampung mereka dari serangan musuh. Tidak hanya itu saja, suara yang mereka keluarkan juga merupakan ekspresi ketangkasan dan kepahlawanan para kesatria.
Namun pada zaman sekarang ini tradisi tari perang atau foluaya bukan lagi digunakan  pada saat perang melawan musuh. Karena didaerah Nias sudah tidak ada lagi ditemukan peperangan. Tetapi kini tari perang hanya dilakukan pada hari tertentu dan merayakan acara-acara tertentu saja. Tari perang juga digunakan sebagai tari dalam penyambutan tamu.

1.5 Perkawinan Suku Nias

Perkawinan dalam adat Nias merupakan hal yang paling penting dan sangat bersifat sakral. Perkawinan dalam adat Nias sudah ditentukan dengan siapa dia akan menikah, pertunangan itu dimulai sejak anak-anak. Selama proses pertungan hingga akhirnya nikah, sang gadis tidak boleh memperlihatkan dirinya ke pasangannya. Dan proses tidak memerlukan adanya persutujuan dari si gadis atau tidak. Masyarakat Suku Nias, menganggap bahwa perkawinan adalah kehidupan yang harus diteruskan diatas bumi ini karena harus dijalankan dengan hukum adat atau fondrako. Perkawinan yang terjadi di Nias dilakukan dengan sistem mengambil isteri diluar clan/fam (marganya atau dnegan nama lain sistem exogam). Perkawinan boleh dilakukan dnegan kerabat mereka sendiri, tetapi harus mencapai 10 tingkatan atau 10 generasi. Perempuan dianggap sebagai sumber kehidupan, menikahi  perempuan di Nias disebut juga MANGAI TANOMO NIHA ( mengambil benih manusia ) yang terdapat pada pihak perempuan yang disebut dengan istilah UWU atau Sibaya atau Ulu ( artinya = paman /saudara ibu ). Perempuan dilambangkan sebagai hulu atau kehidupan dan laki-laki disimbolkan sebagai hilir atau kematian. Maka untuk memiliki kehidupan, lelaki harus melawan arus sungai atau manoso disebut Soroi Tou, menuju hulu atau pihak perempuan yang berada diatas ngofi atau tepian sungai kehidupan itu. Gambaran melawan arus yang dilakukan oleh para laki-laki Nias inilah yang merupakan simbol tradisi jujuran yang harus dibayar oleh pihak lelaki, jujuran (bowo) berarti budi baik. Besarnya jujuran (bowo) yang dilaksanakan oleh lelaki, menjadi ukuran prestise atau harga diri.
Tahap-tahap dalam mencari jodoh adalah sebagai berikut :
a.      Manandra Fangifi (Daerah Tuhegewo, Amandraya, Aramo) artinya yaitu mereka melihat jodonya baik atau tidak berdasarkan mimpi calom mempelai laki-laki.
b.     Famaigi todo manu (Lolowa’u) artinya yaitu melihat jodoh baik atau tidak dari pemeriksaan jantung ayam.
Ketika sang mempelai laki-laki telah menemukan jodohnya, maka selanjutnya mempelai laki-laki harus melakukan beberapa adat atau langkah yang harus dilakukan oleh mempelai laki-laki. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1.     Kunjungan kerumah mertua (Fangoro)
Pihak laki laki yang akan melamar mempelai perempuan, menyampaikan lamaran secara resmi kepada pihak perempuan. Sebagai tanda jadi peminangan diserahkan Afo si Sara,  yang berupa :
·       Tawuo = sirih
·        Betua = kapur sirih
·       Gambe = gambir
·       Fino = pinang
·       Bajo = tembakau
Yang kemudian semua daun lembar sirih sebanyak 100 disusun dan kemudian dibungkus dengan rapi. Pertunangan ini memiliki acara ini dan secara resmi yang berlangsung di rumah pihak perempuan. Pada proses tahapan ini masih longgar atau yang dikenal dengan istilah fohu-fohu bulu ladari ( diikat dengan dun ladari ). Dan masih dapat dibatalkan dengan resiko apapun juga. Pada acara pertungan didaerah moro dikenal dengan sebutan famaigi bowo. Acara pertungan ini dipimpin oleh satua famigi  bowo atau seorang pembawa acara meliputi :
  1. Penyerahan babi jantan hidup yang berukuran 7 alisi (50 kg)
  2. Penyerahan Afo si Sara (sirih) kira-kira 100 lembar,gambir 25 biji ,tembakau 1 ons, pinang 20 biji, kapur sirih 1 ons, dibungkus dengan baik, dalam bungkusan diselipkan cincin belah rotan (suasa) untuk bahan tukar cincin, jika dipakai cincin emas dianggap menantang pihak perempuan tentang jujuran.
  3. Kepada pihak mempelai perempuan disampaikan maksud dan tujuan kedatangan, kemudian disambut oleh ketua adat pihak perempuan,setelah selesai lalu dilanjutkan makan bersama.
2.     Penentuan Jujuran (Fanema Bola)
Acara penghitungan jujuran ini disebut femanga bawi nisila hulu ( = artinya seekor babi dibelah dua dari kepala sampai ekor; separoh untuk perempuan dan separohnya untuk lelaki. Kunjungan pihak perempuan ke rumah pihak lelaki tanpa disertai penganten perempuan, hanya disertai saudara laki-laki dari pihak  perempuan. Kedatangan pihak perempuan disambut dengan memberikan 2 ekor babi besar (50 kg) untuk dimakan bersama, kemudian babi dibelah sama rata. Sebagai simbol kesepakatan untuk mempersatukan dua keluarga sebagai tanda pertunangan tidak dapat dibatalkan lagi. Jika batal perempuan harus mengembalikan jujuran berlipat ganda atau pihak pria tidak menerima jujuran jika batal sepihak oleh pria. Acara ini pertunangan mempunyai nama yang berbeda pada setiap daerahnya yang  disebut dengan :
• Fanunu manu sebua ( Daerah Laraga )
• Famorudu nomo ( Moro’o)
• Fangerai bowo ( Daerah Aramo,To’ene)
• Fanofu bowo ( Bawomataluo )
• Mamalua angeraito bowo
Besarnya jujuran yang harus dibayar oleh pihak laki-laki berbeda. Tergantung pada derajat sosial dan wilayah adat yang dimiliki oleh pihak laki-laki tersebut. Derajat sosial pada daerah Nias Selatan terbagi atas :
a.      Si’ulu ( Kaum Bangsawan )
b.     Si’ila ( Kaum Cerdik Pandai )
c.      Sato ( Masyarakat Awam )
Derajat sosial di Nias Utara, Tengah, Barat terbagi atas :
a.      Bosi si siwa
b.      Bosi siwalu
c.      Bosi si fitu


3.     Pembayaran Uang Mahar
Keluarga pria datang ke pihak perempuan untuk membayar mahar dengan membawa seperangkat sirih dan 10 gram emas. Pihak perempuan menyambut dengan menyediakan 3 ekor babi, untuk :
a. Satu ekor untuk rombongan yang datang.
b. Satu ekor untuk ibu pengantin pria
c. satu ekor lagi dibawa pulang hidup-hidup

4.     Melihat Babi Adat
Pihak perempuan yang datang kemudian melihat kedua ekor babi perkawinan yang telah disediakan oleh mempelai laki-laki. Cocok atau tidak menurut persyaratan, kedua ekor babi tersebut melambangkan kedua pihak keluarga mempelai, dan babi itu dipelihara secara khusus sejak kecil hingga pada akhirnya besarnya mencapai sekitar 100 Kg atau bahkan lebih, babi tidak boleh ada cacat pada tubuhnya, ekornya mesti panjang,  dan warna bulunya harus sama dan tidak boleh berwarna belang atau merah, warnya harus satu hitam atau putih. Babinya harus berwibawa (terlihat dari taring, ekornya ,bulu tengkuknya). Pada saat fanu’a bawi pihak pria harus menyediakan dua ekor babi untuk dimakan secara bersama dan pada saat pihak perempuan akan pulang kerumahnya mempelai laki-laki kemudian menyerahkan  10 gram emas dan sebagian daging babi tadi.
Materi acara dalam Fanu’a Bawi adalah :
®    Menentukan hari dan tanggal perkawinan (falowa)
®    Persiapan sehubungan perlengkapan perkawinan.
®    Menghitung/mengingatkan jumlah mahar yang masih belum dibayarkan
Besar bowo (mahar) ditentukan dengan tinggi rendahnya kedudukan yang dimiliki dalam adat. Penerimaan Bowo adalah sebagai berikut :
®    Tolambowo ( orang tua kandung ) menerima 100 gram emas
®    Bulimbowo ( famili terdekat ) menerima 20 gram emas dan dibagi rata.
®    Pelaksanaan penerimaan bowo ini dilakukan pada waktu pesta perkawinan.

5.     Mengambil beras bantuan (Fangai’ Bowo)
Setelah adat melihat babi, kemudian pihak perempuan datang kembali kerumah pihak laki-laki untuk mengambil bantuan beras. Hal dilakukan sebagai tanda bahwa perkawinan tidak boleh berubah lagi atau dibatalkan. Jumlah beras yang diambil adalah sebanyak = 4 Zoe + 2 Lauru.

6.     Nasehat untuk calon mempelai (Famae’e)
Tiga hari sebelum perkawinan dilakukan upacara fame’e (tuntunan cara hidup untuk berumah tangga) calon pengantin pria ditemani teman-temannya datang ke rumah perempuan membawa seperangkat sirih. Yang kemudian para ibu-ibu dari pihak keluarga perempuan menasehati sang gadis, dan biasanya acara ini disertai dengan tangisan dari pihak perempuan ( fame’e artinya menangisi sigadis, karena akan pisah dengan keluarga ).
Pada saat acara fame’e dimulai maka dibunyikanlah gong (aramba) dan gendang (gondra) secara terus menerus, hingga sampai hari pesta akan dilaksanakan. Sang mempelai perempuan kemudian akan dipingit, untuk menjaga kesehatan dan kecantikan yang dimilik. Dalam adat Suku Nias, peran paman sangat dihormati (paman atau disebut sibaya, saudara laki-laki ibu sigadis)sebelum pernikahan akan dilangsungkan, maka pihak perempuan melaksanakan Fogauni Uwu (Mohon doa restu Paman untuk pelaksanaan pernikahan).

7.     Mengantar babi adat (Folau Bwi)
Sehari sebelum perkawinan akan dimulai pihak laki-laki harus mengantar kedua ekor babi perkawinan dan seekor pengiringnya ke rumah keluarga pihak perempuan. Dua babi adat ini diberangkatkan dari rumah keluarga laki-laki dengan menggunakan upacara adat  tertentu, dan disambut oleh pihak perempuan juga dengan upacara tertentu sambil dengan mengucapkan syair yang berbalas-balasan. Kedatangan rombongan pihak laki-laki disambut dengan memotong dua ekor babi yang dimakan bersama yang kemudian juga akan dibawa pulang. Acara ini disebut Fondroni Bawi, dengan rincian pembagian Babi Adat adalah sebagai berikut :
  • Babi yang pertama yaitu babi yang paling besar untuk keluarga perempuan (So’ono) dan pihak paman si gadis (Uwu)
  • Babi yang kedua, di khususkan bagi warga kampung keluarga perempuan (Banua) dan pihak laki-laki (Tome)
Menguliti dan memotong-motong babi ternyata tidak bisa dilakukan sembarangan orang. Karena babi yang paling besar jatuh pada keluarga yang paling dihormati oleh keluarga yang membuat  pesta, demikian seterusnya hingga babi yang paling kecil. Yang paling sulit adalah melepas rahang (simbi) pada babi, karena simbi tidak boleh rusak. Simbi adalah bagian paling berharga dari babi.
8.     Pesta perkawinan dilakukan didua tempat (Falowa)
§     Pesta perkawinan yang diadakan dirumah mempelai perempuan.
Pada saat hari pernikahan sang paman datang dan disambut dengan memotong dua ekor babi penghormatan, kemudian rombongan penganten Pria datang membawa keperluan Pesta dan  menyerahkan sirih sebagai tanda penghormatan. Penyelesaian bowo untuk tolambowo (orang tua kandung) menerima 100 gram emas dan Bulimbowo (famili terdekat) menerima 20 gram emas dan dibagi rata kepada semua famili. Demikian juga io naya nuwu (mahar untuk paman) turut dibayarkan. Puncak acara dilaksanakan fanika gera’era atau membuka  yaitu perhitungan kembali semua mahar (jujuran/bowo atau disebut juga boli gana’a (boli yaitu harga ana’a artinya emas) baik yang sudah maupun yang belum dilunasi, oleh pihak keluarga laki-laki . Arti bowo adalah budi baik. Setela acara diatas selesai kemudian dilanjutkan dengan acara pemotongan Babi Adat, yang dipotong dengan cara, dibelah dari atas sampai ekor dibagi 2. Yang kemudian dibagi sama rata susai adat.
§     Mengantar penganten wanita (Famasao Ni’owalu)
Pelaksanaan dirumah tempat laki-laki, Penganten perempuan kemudian ditandu oleh saudara laki-laki si gadis di kursi tandu yang telah dihiasi. Di rumah pihak laki laki rombongan disambut dengan upacara adat ( fangowai ) dan tari maena serta doa salam serta sirih. Rombongan dijamu dengan pemotongan babi yakni :
a.      Ekor untuk yang mengantar
b.      2 Ekor untuk same’go ( ibu penganten perempuan )
c.      2 Ekor untuk para tamu
Penganten perempuan lalu diserahkan kepada pihak penganten laki yang disambut oleh dua orang ibu muda yang belum mempunyai anak. Pengantin wanita diberi nama baruatau gelar yang diawali kata saorta yang artinya pelabuhan atau barasi yang artinya emas termahal yang mempunyai makna bahwa pengantin perempuan telah menjadi anak mertuanya.




BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembahasan diatas memberikan gambaran bahwa kehidupan di Suku Nias mempunyai banyak sekali peradapan kebudayaan dan adat istiadat yang tersimpan. Setiap kebudayaan mereka sangat berarti besar dan dijunjung tinggi oleh masyarakat sekitar. Pentingnya pelestarian adat istiadat Suku Nias karena pulau Nias masih termasuk Indonesia. Bagi masyarakat Nias kebudayaan mereka menjadi modal utama bagi mereka agar mereka dikenal orang melalui cirri khas daerah yang mereka miliki. Bahkan kebudayaan mereka menjadi sumber pemasukan daerah, karena banyaknya para turis asing yang mengunjungi daerah mereka untuk melihat adat istiadat mereka.
B. Saran
Sebaiknya setiap kebudayaan yang terdapat di Negara Indonesia harus dilestarikan. Karena di Indonesia sendiri terdapat banyak sekali Provinsi dan beribu Pulau yang menyimpan kebudayaannya masing-masing. Oleh karena itu, pemerintah maupun masyarakat saling bersatu untuk tetap menjaga dan merawat kebudayaannya hingga anak cucu dapat merasakannya.







Daftar Pustaka



Tidak ada komentar:

Posting Komentar